Menilik Esensi Ramadan dalam Membentuk Karakter Seorang Muslim
Semoga dengan Ramadan umat semakin mampu menyeimbangkan antara ibadah sebagai ritual dan laku sosial. (Abdul Gani Pandengkalu, mahasiswa Teknik Sipil S-1, ITN Malang, angkatan 2021)
Malang, ITN.AC.ID – Bulan Ramadan adalah bulan yang dijanjikan oleh Allah SWT sebagai momentum yang penuh keberkahan. Umat muslim sedunia bahkan dengan penuh penantian bermunajat kepada Allah SWT untuk dipertemukan dengan bulan ini dengan seruan doa “Allaahumma baariklanaa fii Rajaba wa Sya’baana wa ballighna Ramadhana.” Yang artinya: “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban ini, dan sampaikanlah umur kami bertemu Ramadan”. Saking melimpahnya rahmat Allah di bulan Ramadan, setiap amalan sunnah diberikan ganjaran pahala berlipat ganda.
Jika ditinjau dari aspek historisnya, sejak dibawa oleh Nabi Muhammad SAW Ramadan menyimpan rekaman yang berharga dalam sejarah perjalanan umat Islam. Ada empat peristiwa besar yang pernah terjadi dalam periode Ramadan. Pertama adalah nuzulul quran. Peristiwa ini merupakan babak baru dalam episode hidup Nabi Muhammad SAW. Sejak wahyu pertama turun (QS Al-Alaq: 1-5), maka secara otomatis mandat untuk menyampaikan risalah ilahi dari Tuhan diterima oleh Nabi untuk selanjutnya disampaikan kepada seluruh manusia. Kedua perang Badar. Dua tahun pasca peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah terjadi sebuah perang yang berlangsung dalam bulan Ramadan. Perang ini dikenal sebagai perang Badar Kubra. Dimana pasukan muslim yang hanya berjumlah kurang dari setengah jumlah pasukan musuh berhasil memenangkan peperangan ini.
Ketiga Fathu Makkah, peristiwa kemenangan umat Islam atas kaum kafir quraisy. Berselang 6 tahun sejak perang Badar umat muslim yang telah berhasil membangun tata negara yang paripurna di Madinah hendak bertolak ke Makkah untuk membebaskannya dari jeratan kafir quraisy. Selanjutnya yang terjadi adalah Makkah berhasil ditaklukkan tanpa pertumpahan darah. Keempat peristiwa kemerdekaan Indonesia. Di Indonesia sendiri, peristiwa kemerdekaan yang ditandai dengan proklamasi telah menjadi momentum yang selalu diingat oleh seluruh warga negara. Peristiwa yang berlangsung pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut bertepatan dengan tanggal 9 Ramadan 1364 H. Dari beberapa peristiwa besar tersebut tersirat fakta bahwa dalam dinamika Ramadan terselip pesan-pesan moral mengenai semangat nasionalisme-religius.
Ramadan biasanya identik dengan puasa serta ornamen-ornamen teologis lain yang membentuk relasi tidak hanya vertikal antara manusia dan Tuhan. Melainkan antara sesama manusia. Puasa adalah salah satu dari lima komponen keislaman seorang manusia. Hal ini tegas dimuat dalam rukun islam. Dengan landasan teologis dalam Quran Surah Al-Baqarah: 183, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan (juga) kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Baca Juga : Kartini dan Pendidikan Perempuan
Puasa tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar, ditinjau dari perspektif medis puasa amat dianjurkan untuk membentuk pola hidup yang lebih sehat. Di sisi lain, puasa juga melatih kepekaan sosial umat islam, manusia bisa menyadari kesulitan orang lain ketika tidak mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Puasa juga merupakan kontrol individu dalam menekan segala hasrat negatif yang cenderung muncul dalam diri manusia. Hal ini bahkan telah diperingatkan oleh nabi: “Banyak orang yang berpuasa namun ia tak mendapatkan apa pun dari puasanya selain rasa lapar saja” (HR. Imam Ahmad).
Abdul Gani Pandengkalu, mahasiswa Teknik Sipil S-1 ITN Malang saat menghadiri sebuah momen acara. (Foto: istimewa)
Selama Ramadan, seorang muslim akan terus berpacu dalam mengakumulasi berkah didalamnya baik itu membaca Al-Quran baik perorangan atau berkelompok, memperbanyak sedekah dan menghindari segala perbuatan yang sekiranya bisa mendorong seorang individu condong kepada hal-hal yang bersifat bathil. Jika hal ini berhasil dilakukan dan menjadi kebiasaan yang terus diulang, maka pada dasarnya Ramadan telah menjadi “Resolusi batin dalam memelihara fitrahnya sebagai manusia”.
Ramadan kemudian ditutup dengan zakat sebagai garis finish dimana seorang muslim menyisihkan sebagian hartanya yang diperoleh dengan halal untuk kemudian disalurkan kepada orang-orang yang berhak menerima. Zakat kemudian membentuk muzakkir yang punya kepribadian bertanggung jawab, adil, serta peduli terhadap nasib sesamanya.
Ramadan tak hanya membentuk pribadi yang ideal secara teologis (habl minallah), namun dari aspek sosiologis Ramadan telah menjadi wadah kaderisasi seorang muslim dalam memelihara hubungannya dengan sesama manusia (habl min al-nas). Kesalehan sosial seorang muslim diaktualisasikan lewat kesadaran objektif bahwa manusia adalah khalifah fil ard.
Sebuah gelar yang dimandatkan kepada manusia untuk selanjutnya mengelola dan menyeimbangkan alam, pun termasuk semua makhluk yang ada di dalamnya tanpa terkecuali.
Baca juga : Dari Masyarakat Adat Membangun Paradigma Ekologis Solusi Krisis Lingkungan
Semoga Ramadan kali ini dapat membentuk pribadi yang penuh kesadaran perihal tugas dan tanggung jawabnya dalam dua dimensi penciptaan yaitu khalifah dan abdillah. Mampu menyeimbangkan antara ibadah sebagai ritual dan laku sosial. Sebab bipolaritas ini harus diramu sedemikian rupa dalam porsi yang tidak saling tumpang tindih, sehingga Ramadan mampu menjadi media kaderisasi yang melahirkan subjek manusia paripurna. (Abdul Gani Pandengkalu/mahasiswa ITN Malang)
Pewarta: Abdul Gani Pandengkalu, mahasiswa Teknik Sipil S-1, ITN Malang, angkatan 2021. Editor: Mita Erminasari/Humas ITN Malang