Mahasiswa ITN Malang Sempat Gugup Angkat Kain Tais Timor Leste di Forum The World Indonesianist Congress
Justino dos Santos, mahasiswa Internasional ITN Malang asal Timor Leste usai menjadi selected participants pada Kongres Indonesianist se-Dunia, di Yogyakarta, 14-16 Oktober 2019. (Foto: Istimewa)
Malang, ITN.AC.ID – Meski sempat gugup, kain tais Timor Leste turut dipromosikan oleh Justino dos Santos, mahasiswa Internasional Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang asal Timor Leste, dalam ‘The World Indonesianist Congress’ di Yogyakarta pada 14-16 Oktober 2019 yang lalu. Kongres yang diadakan pertama kali oleh Kementerian Luar Negeri RI dengan tema “Building a Better Future of Indonesia: Toward a Tolerant, Vibrant and Creative Society” menjadi pengalaman berharga bagi Atino.
Ketertarikannya untuk melestarikan kain tais membawa Atino biasa disapa lolos sebagai selected participants pada Kongres Indonesianist se-Dunia. Atino mengambil tema Peran Komunitas Mahasiswa Timur Leste dalam Upaya Peningkatan Seni Budaya Timur Leste dan Indonesia.
“Sebagai mahasiswa internasional, saya ingin mempromosikan seni dan budaya Indonesia dan Timor Leste. Bahwa Timor Leste punya kain tais layaknya kain batik yang menjadi ciri khas budaya Indonesia. Dan sebaliknya, saat kami pulang, kami juga akan mempromosikan seni budaya Indonesia ke Timor Leste,” ujar Atino saat ditemui di Ruang Humas ITN Malang pada Selasa (22/10/19).
Tais merupakan kain tenun tradisional yang biasa dibuat oleh perempuan Timor Leste. Biasanya kain bermotif flora atau fauna ini digunakan dalam upacara adat seperti upacara mas kawin/lamaran, upacara pernikahan, dan pemakaman.
“Awalnya tais hanya untuk penutup tubuh (layaknya jarik), namun perkembangannya sekarang tais sudah digunakan sebagai baju sampai aksesoris, semisal tas,” imbuhnya.
Baca juga: ITN Malang Delegasikan Empat Mahasiswa Internasional dalam Kongres Indonesianist se-Dunia
Menurut mahasiswa Teknik Sipil semester tujuh ini, Indonesia selain memiliki ragam budaya, juga memiliki adat sopan santun yang patut dijaga dan dikembangkan. “Indonesia ada budaya yang bagus, yang mempunyai nilai tinggi yakni sopan santun. Itu yang harus kami sampaikan saat kembali pulang,” tutur Atino.
Mempresentasikan makalah di depan sesama mahasiswa internasional ternyata membuat Atino gugup. Ia mengaku meskipun sebagai mahasiswa internasional, namun penguasaan bahasa Inggrisnya tidaklah terlalu baik. Hingga ditengah-tengah presentasi ia terpaksa mencampur bahasanya dengan bahasa Indonesia.
“Saya gugup juga, karena tidak lancar berbahasa Inggris, jadinya saya campur dengan bahasa Indonesia. Panitia akhirnya mengijinkan setelah sebelumnya meminta pendapat pada audience. Syukurnya semua audience paham dengan bahasa Indonesia,” akunya. Ia berharap teman-teman mahasiswa internasional ITN Malang lainnya bisa ikut di kegiatan serupa tahun-tahun mendatang. (me/humas)
Baca juga: Dua Paper Mahasiswa ITN Malang Lolos Seleksi Kongres Indonesianis