Rektor ITN Malang: Pencegahan Banjir dengan Pemberdayaan Masyarakat
Begitu pentingnya air bagi kehidupan manusia, tumbuhan, dan binatang. Meskipun bumi 70 persen ditutupi air tapi pada kenyataannya tidak banyak air yang bisa dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Apalagi saat musim penghujan, melimpahnya air dari curah hujan yang tinggi tidak bisa semua dimanfaatkan oleh makhluk hidup atau semua terserap ke dalam tanah. Limpahan air di musim hujan ibaratnya sudah menjadi langganan tahunan khususnya di titik-titik tertentu di Kota Malang. Ini bertolak belakang pada musim kemarau, dimana beberapa daerah mengalami krisis atau kesulitan air, baik untuk minum, atau berbagai keperluan lainnya.
Bencana banjir yang sering terjadi di Kota Malang di musim hujan menunjukkan alam sudah mengalami kerusakan, ditambah juga ulah manusia dengan pembangunan yang tidak ramah terhadap alam. Hal ini disampaikan oleh Rektor ITN Malang, Dr.Ir. Kustamar, MT saat menjadi pemantik dalam talkshow di City Guide 911 FM, pada Senin, (25/03/19).
Kecenderungan perilaku manusia yang tidak menjaga, melestarikan, memahami, dan memperlakukan alam agar senantiasa bermanfaat bagi manusia, ini mengakibatkan jarak antara manusia dan alam. “Saat orang butuh air, alam belum tentu menyediakan air. Saat orang tidak membutuhkan (air), air melimpah sedangkan manusia tidak berusaha menyimpannya untuk cadangan saat kondisi sulit air,” terang Kustamar.
Rektor asal Blitar ini membeberkan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi bajir seperti pembangunan kontruksi dan membangun sumur resapan melalui pemberdayaan masyarakat. Dalam kontruksi langkah paling mudah adalah dengan membangun bendungan. “Yang tidak mudah adalah pemberdayaan masyarakat. Ini akan berhasil manakala masyarakat mau membangun sumur resapan dan bisa mengakses dari situ (sumur resapan),” bebernya.
Dengan demikian menurut ahli air ITN Malang ini, kalau masyarakat turut berpartisipasi aktif maka pemerintah bebannya akan berkurang. Konsepnya bagaimana masyarakat bisa diberdayakan. Ini efektif untuk lahan persawahan, dimana sawah selalu membutuhkan air. Namun, akan berbeda penerapan pada lahan pemukiman yang sempit. Dimana tiap rumah sudah memiliki sepiteng sendiri-sendiri. Maka tidak mungkin dibangun sumur resapan berdekatan dengan sepiteng. Langkah yang bisa dilakukan adalah dengan membangun sumur komunal.
“Program pemerintah seyogyanya harus bisa membumi dan realistis. Orientasi kedepannya tidak hanya bisa mengendalikan banjir saja, namun melimpahnya air bisa disulap sebagai obyek wisata. Lewat dana desa bisa diberdayakan, tidak hanya mengendalikan banjir saja tapi juga menjadikan obyek pariwisata,” pungkasnya. (mer/humas)