I Wayan Mundra: Sistem Drainase Alami Kota Malang Aman, Tapi Masih Banjir
Ir. I Wayan Mundra MT dosen Teknik Sipil S-1 Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. (Foto: Yanuar/humas)
Malang, ITN.AC.ID – Banjir yang melanda beberapa wilayah di Kota Malang akhir-akhir ini mendapat sorotan dari berbagai pihak. Salah satunya Ir. I Wayan Mundra, MT dosen Teknik Sipil S-1 Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Banjir yang banyak terjadi ditengarai akibat curah hujan ekstrem sehingga menimbulkan luapan air dari saluran drainase.
Dikatakan Mundra biasa disapa, sebetulnya Kota Malang tidak pernah terjadi banjir akibat meluapnya Sungai Brantas. Sistem drainase alam di Malang Raya sudah cukup aman, karena banyaknya jaringan-jaringan sungai yang akan menampung limpasan air hujan dan mengalirkan menuju Sungai Brantas.
“Secara alami sistem drainase alam di Kota Malang aman dengan adanya Sungai Brantas dan anak-anak sungainya. Hanya saja, ada beberapa hal mengenai sistem drainase di Kota Malang kurang baik menurut saya,” terang Mundra saat menjadi narasumber dalam program Warta Berita Pagi Pro 1 RRI Malang FM 91.5 Mhz, Jumat (08/01/2021).
Wilayah yang menjadi langganan banjir di Kota Malang antara lain: Jalan Sukarno Hatta, kawasan Dieng, Jalan Bondowoso, Jalan S Parman, Jalan Borobudur serta Jalan Letjen Sutoyo.
Baca juga: Rektor ITN Malang: Pencegahan Banjir dengan Pemberdayaan Masyarakat
“Contohnya Suhat (Jalan Sukarno Hatta), kawasannya dekat dengan Sungai Brantas tapi mengapa masih banjir? Berapa meter jarak dari perempatam patung pesawat ke jembatan Suhat (Sungai Brantas),” ujar Mundra.
Menurut Mundra, banjir di kawasan Suhat dikarenakan air hujan tidak terhantarkan dengan lancar ke Sungai Brantas. Padahal di perempatan patung pesawat drainase juga mengarah ke Jalan Borobudur. “Drainase Suhat sebagian mengarah ke Sungai Brantas, sebagian mengarah ke Jalan Borobudur. Kalau masih terjadi banjir maka ada yang tidak benar dengan sistem drainasenya,” imbuhnya.
Wacana pembuatan biopori dan sumur resapan menurut Mundra juga tidak siknifikan dalam menanggulangi air hujan penyebab banjir. Pasalnya, biopori hanya untuk meningkatkan penyerapan air hujan menjadi air tanah.
“Saya menyarankan biopori atau sumur resapan untuk membantu penyerapan air hujan ke tanah. Tujuannya untuk menjaga keseimbangan air tanah yang tereksploitasi berlebihan. Namun, ini (biopori) tidak siknifikan untuk menanggulangi banjir. Kalau mau menanggulangi banjir maka sistem drainasenya yang harus diperbaiki,” tegas Kaprodi Teknik Sipil S-1 ini.
Baca juga: Banjir Sentani Papua, Gugah Kepedulian Mahasiswa ITN Malang
Ahli pengairan Kampus Biru ini menyarankan, sistem apapun yang akan digunakan untuk menanggulangi banjir, di Suhat tetap harus dibuatkan saluran drainase menuju Sungai Brantas dengan kapasitas yang memadai. Dengan dasar rancang bangun untuk menentukan kapasitas.
Selain itu kesadaran masyarakat juga harus ditumbuhkan dengan pendekatan langsung. Seperti penyuluhan kepada masyarakat dan PKL yang bermukim dan beraktifitas di pinggir jalan agar tidak menyapu kotoran/sampah ke dalam saluran air.
“Kenyataannya di masyarakat, secara umum kalau diperhatikan masih ada yang menyapu halaman dan sampahnya dibuang ke saluran air. Untuk menanggulangi banjir, maka jangka pendek tetap kebersihan dan saluran drainase dijaga. Sementara, dari sisi sistem untuk jangka pendek inlet-inlet saluran lubang drainase perlu juga diperbaiki,” bebernya. Inlet adalah lubang masuknya air hujan yang berada di atas permukaan jalan atau ruang terbuka menuju ke saluran air.
Seperti halnya di Jalan Borobudur yang dibangun saluran drainase kanan kiri dengan sistem saluran tertutup karena ada fungsi lalulintas dan ruko di atasnya. “Air hujan di Borobudur menuju ke saluran yang sudah ada saya yakin tidak berfungsi 100 persen pengalirannya. Karena lubang-lubang air hujan yang menuju ke saluran air sangat tidak proporsional dengan luas tangkapan air hujan,” pungkas Mundra. (mer/humas)