Dukung Konservasi Desa Adat Penglipuran Bali, Dosen ITN Malang Kembangkan Model Dynamic Building Information Modelling (D-BIM)
Dr. Ir. Ketut Tomy Suhari, ST., MT, IPP., IRSurv., dosen Prodi Teknik Geodesi S1 ITN Malang (tiga dari kiri) bersama para penguji saat sidang doktoral.
Malang, ITN.AC.ID – Dr. Ir. Ketut Tomy Suhari, ST., MT, IPP., IRSurv., menambah jajaran doktor di Institut Teknologi Nasional Malang (ITN Malang). Dosen Prodi Teknik Geodesi S1 ini pada akhir 2024 lalu berhasil meraih gelar doktor dari Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Judul disertasinya “Pembangunan Dynamic Building Information Modelling untuk Konservasi Ruang Adat, Studi Kasus Desa Adat Penglipuran, Bali.”
Tomy mengembangkan Dynamic Building Information Modelling (D-BIM) yang terintegrasi dengan Boundary Representation (B-Rep), dan Decision Support System (DSS) guna mendukung konservasi dan pengelolaan ruang adat di Desa Adat Penglipuran, Bali. Model ini diharapkan mampu mengakomodasi perubahan tata ruang adat yang diperlukan untuk menyeimbangkan kebutuhan pelestarian budaya dan perkembangan pariwisata, tanpa mengorbankan nilai-nilai adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
“Pengembangan model Dynamic BIM ini tujuannya untuk konservasi ruang adat. Sebenarnya memanfaatkan BIM sangat luas bisa untuk konstruksi, pelestarian cagar budaya (heritage), untuk membuat model bangunan adat atau rekonstruksi bangunan, dan lain sebagainya,” ujar Tomy saat ditemui akhir Desember 2024 lalu.
Baca juga:Ketut Tomy Suhari, Dosen ITN Malang Menyandang Gelar Indonesian Registered Surveyor Termuda
Menurut Tomy, data BIM bisa membantu mendokumentasikan data digital sesuai bangunan aslinya. Sehingga Dynamic BIM bisa merekonstruksi bangunan tersebut sesuai ukuran aslinya. Dia mencontohkan, di Bali jika bangunan adat rusak/hancur karena suatu hal ternyata untuk membangunnya kembali memerlukan atau memanfaatkan tubuh orang tertua dari keluarga tersebut sebagai alat ukur. Sementara, jika orang tertua tersebut sudah tidak ada, maka tidak ada patokan fisik yang dapat diandalkan.
Dr. Ir. Ketut Tomy Suhari, ST., MT, IPP., IRSurv., dosen Prodi Teknik Geodesi S1 ITN Malang saat sidang doktoral di Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB.
Ini menjadi tantangan dalam upaya restorasi dan konservasi, karena metode yang digunakan memiliki tingkat akurasi rendah. Hal ini bisa mengakibatkan resiko hilangnya bangunan adat sesuai ukuran asli. Untuk itu diperlukan alat ukur dengan teknologi modern seperti High Definition Survey (HDS), teknologi geospasial seperti Heritage BIM, LiDAR, fotogrametri, dll. Namun sayangnya Heritage BIM pada dokumentasi bangunan bersejarah masih bersifat statis, belum bisa menyesuaikan dengan dinamisnya perubahan ruang adat.
“Disinilah diperlukan model Dynamic BIM untuk mengakomodir perubahan dinamis pada ruang adat dan ruang modernisasi yang berkelanjutan di Desa Adat Penglipuran,” lanjut Kepala Center for Digitalisation Construction and Smart Urban Management (DConS Center) ITN Malang ini.
Dikatakan Tomy, Desa Penglipuran sampai saat ini masih memegang adat dengan menerapkan tata ruang tradisional pada huniannya yang terbagi dalam tiga zona (Tri Mandala), yaitu madya, utama, dan nista. Pembagian ini juga mencerminkan falsafah/konsep Tri Hita Karana yang mengandung filosofi keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
“Sebagai desa adat, Desa Penglipuran telah mendapat berbagai penghargaan. Seperti desa terbersih di dunia versi Unesco, desa wisata terbaik sedunia, juga Kalpataru. Daya tariknya diantaranya berada pada tata ruang Tri Mandala, upacara keagamaan, dan hutan bambu,” ujar Tomy.
Dijelaskan, tingginya arus wisatawan di Bali khususnya Desa Penglipuran lambat laun menimbulkan akulturasi budaya. Pengaruh budaya luar ini mengakibatkan perubahan gaya hidup maupun eksploitasi sumber daya alam. Desa Penglipuran pun sudah menerima modernisasi seperti adanya hotel, restoran, lapak penjual souvenir, serta adanya pertukaran budaya.
Namun, yang menjadi keprihatinan adalah adanya sebagian generasi muda sudah mengikuti budaya luar yang sedang trend. Serta terbangunnya bangunan-bangunan yang tidak lagi mencirikan bangunan adat Bali. Beruntungnya di Desa Penglipuran dan umumnya di Bali ada hukum adat awig-awig. Hukum adat ini mengatur kehidupan masyarakat adat baik tertulis maupun tidak tertulis, serta tingkah laku pergaulan hidup yang terhubung dengan falsafah Tri Hita Karana.
“Nah, di sana untuk rumah harus mempertahankan bangunan adat. Minimal harus ada paon, sekenem, sanggah (bangunan untuk ritual keagamaan), dan angkul-angkul (pintu gerbang),” imbuhnya.
Dalam penelitiannya, Tomy melibatkan beberapa tahapan utama, yaitu identifikasi dan pengumpulan data, pengolahan data menggunakan teknik BIM dan model spasial, serta validasi hasil melalui analisis konservasi dan harmonisasi. Dia menggunakan data drone tahun 2000, 2021, dan 2022 untuk melihat perubahan dan pemanfaatan ruang adat. Setiap tahapan penelitian dirancang untuk menghasilkan data yang dapat diintegrasikan ke dalam model Dynamic BIM. Sehingga memungkinkan pemantauan dan pengelolaan ruang adat yang dinamis dan berkelanjutan.
Dihasilkan pada tahun 2000 zona madya mencakup 88 persen dari luas total persil, ruang komersial dan tambahan masing-masing 6 persen. Tahun 2021 luas zona madya turun menjadi 86 persen, ruang komersial dan tambahan meningkat 7 persen. Ini menunjukkan adanya perkembangan dalam pemanfaatan ruang.
Kompleksnya model adat membutuhkan model BIM dan HDS untuk melakukan pengukuran survey. Tomy membuat tiga model, yakni adat, modernisasi dan kebijakan. Model adat berada di zona madya, model modernisasi di zona nista, sementara model kebijakan mengintegrasikan beberapa peraturan yang ada. Contohnya menyesuaikan tinggi bangunan tidak melebihi 15 m dan harus memiliki bangunan adat yang dilengkapi dengan ornamen.
“Dengan Dynamic BIM zona adat dapat dimodelkan secara detail, mencakup informasi geometri, material, dan fungsi sesuai aturan adat. Ini juga bisa mendukung pemantauan perubahan ruang secara real time dan mengurangi resiko penyimpangan dari ketentuan adat,” tuturnya.
Diakui Tomy untuk konservasi teknologi ini belum sepenuhnya stabil. Untuk melihat ruang atau persil yang berubah tim monitoring survey tiap tahun harus ke lapangan. Sehingga secara dana masih tergolong mahal, kecuali kedepan ada pemanfaatan citra satelit dengan resolusi bagus dan dapat membuat model BIM yang akurat.
“Kedepan masih banyak peluang untuk dikembangkan. Harapannya ilmu geodesi bisa bermanfaat untuk masyarakat adat, pemerintah, dan pengelola adat. Dengan parameter mengikuti daerah setempat dan kebijakan yang ada,” tuntasnya. Dari disertasi ini Tomy sudah menghasilkan luaran aplikasi, Scopus Q2, serta prosiding dan jurnal internasional. (Mita Erminasari/Humas ITN Malang)