Back

Dari Masyarakat Adat Membangun Paradigma Ekologis Solusi Krisis Lingkungan

Galank Vijanarki, mahasiswa Teknik Lingkungan S-1 ITN Malang, angkatan 2019. (Foto: Istimewa)


Akar Krisis Lingkungan

Pada hakikatnya, krisis lingkungan lahir dari nafsu manusia dan paradigma berpikirnya dalam upaya menguasai alam. Lebih-lebih pada zaman modern ini yang teknologi menjadi senjata untuk mentransformasikan ketergantungan pada alam menjadi relasi dominasi, bahwa manusia tetap membutuhkan alam namun alam diposisikan sebagai pelayan segala kebutuhannya (antroposentris).

Modernitas, yang ditandai dengan kemunculan zaman pencerahan (aufklarung) pada abad ke 18 yang disusul oleh revolusi perancis dan revolusi industri telah membuka babak baru dalam relasi manusia dengan alam. Manusia modern menampilkan secara vulgar nafsunya menguasai alam, alam dipandang sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan manusia. Secara singkat, kita bisa mengatakan bahwa manusia modern memaksakan kehendaknya pada alam.

Masyarakat Adat

“Krisis dan bencana lingkungan hidup disebabkan oleh kesalahan perilaku manusia. Kesalahan perilaku manusia disebabkan kesalahan cara pandang atau paradigma berpikir. Karena itu, untuk mengatasi krisis dan bencana lingkungan hidup global, dibutuhkan perubahan perilaku yang hanya bisa terjadi dengan melakukan perubahan paradigma berpikir.” (A. Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, hlm. 8)

Dari kutipan di atas, kita perlu menyadari bahwa krisis lingkungan saat ini merupakan kesalahan paradigma kita dalam memahami relasi antara manusia dan alam. Paradigma yang salah telah mendorong kita pada tindakan eksploitasi ekologis besar-besaran dengan mengedepankan aspek ekonomi kapitalistik. Lantas seperti apa paradigma pemikiran yang ideal saat ini dalam membantu kita memahami relasi antara manusia dengan alam?

Dalam kehidupan sosial, seringkali kondisi geografis mempengaruhi paradigma berpikir kelompok masyarakat atau manusia secara individu yang menempati wilayah itu. Salah satunya adalah kelompok masyarakat adat. Masyarakat adat  adalah kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati suatu wilayah secara turun-temurun, memiliki kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat dalam upaya untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan kelompoknya sebagai masyarakat adat.

Baca juga : Kontribusi Tingkatkan SDM Mahasiswa, KAMI Peduli Adakan Pelatihan Autocad 2D

Dalam berbagai penelitian yang sudah dilakukan, masyarakat adat memiliki ciri yang berbeda dari kelompok masyarakat lain. Pertama, mendiami tanah-tanah milik para leluhurnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Kedua, memiliki garis keturunan yang sama. Ketiga, budaya yang khas. Keempat, bahasa lokal/daerah. Kelima, biasanya hidup terpisah dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya. Dari kelima hal tersebut, secara tidak langsung masyarakat adat memiliki cara pandang atau kaca mata sendiri dalam melihat relasi antara manusia dan alam.

Paradigma dalam Kearifan Masyarakat Lokal

Dalam membangun paradigma berfikir kita untuk menyikapi permasalahan lingkungan saat ini, Pada bab terakhir buku Etika Lingkungan, Sony Keraf memberi judul Kembali ke Alam: Belajar dari Etika Masyarakat Adat. Ia menegaskan bahwa masyarakat adat atau masyarakat tradisional memiliki kearifan yang membantu kita untuk keluar dari permasalahan lingkungan hidup saat ini.

Kearifan lokal merupakan pandangan hidup suatu masyarakat di wilayah tertentu mengenai lingkungan alam tempat mereka tinggal yang dipraktekkan dan diajarkan secara berkelanjutan (turun temurun). Kearifan ini dimiliki dan disebarluaskan secara kolektif dan bersifat praksis. Kearifan ini juga merupakan pengetahuan tentang hidup secara baik dalam komunitas ekologis termasuk bagaimana memperlakukan makhluk lain dalam komunitas itu. Ia bersifat holistik (menyeluruh) yang mana didalamnya menyangkut pengetahuan dan pemahaman pada kehidupan.

Masyarakat adat memandang alam sebagai rangkaian relasi yang terkait satu dengan yang lainnya. Sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus merupakan pengetahuan yang universal atau bersifat holistik. Dari sini kita dapat memahami bahwa paradigma masyarakat adat dalam memahami keberadaan relasi manusia dan alam tidak pada hal yang antroposentris (fokus pada manusia) melainkan ekosentris (ekosistem secara keseluruhan).

Moralitas, Relasi Manusia dan Alam

Moralitas merupakan tuntutan yang inheren pada masyarakat adat yang tidak hanya menyangkut sesama manusia tetapi juga manusia dengan alam. Ada keyakinan religius moral, bahwa sikap batin dan perilaku yang salah, akan mendatangkan malapetaka. Sehingga masyarakat adat selalu menjaga setiap perilakunya yang merusak relasi antara manusia dan alam karena dipahami sebagai sesuatu yang sakral.

Spiritualitas mewarnai relasi dari semua ciptaan di alam semesta. Melalui penghayatan yang menyeluruh masyarakat adat ingin membangun keharmonisan di antara manusia dan alam. Bagi mereka, tanah bukanlah sesuatu yang bernilai ekonomis melainkan pemberian dari sang pencipta alam semesta dan para leluhur mewariskannya pada kita.

Ruang sakral yang mereka butuhkan semata untuk berinteraksi demi mempertahankan identitas nilai-nilai kehidupan mereka. Meski memiliki berbagai perbedaan keyakinan dan cara hidup, sebagian masyarakat adat ini tinggal dan menjadi bagian dari hutan sebagai bentuk penyatuan diri mereka bersama alam. Sayangnya, keberadaan masyarakat adat sering kali terpinggirkan akibat kepentingan pembangunan dengan dalih peningkatan ekonomi.

Baca juga : Selamatkan Lingkungan Ex TPA Kalisari, Mahasiswa Teknik Lingkungan Ikut Gerakan 1.000 Tanam Pohon

Terjadinya krisis lingkungan saat ini, penulis merasa perlu melihat dan mendalami kearifan masyarakat adat. Dimulai dari mempelajari paradigma pemikiran atau cara berpikir masyarakat adat dalam memahami relasi antara alam dan manusia. Sebab, mustahil kita menginginkan suatu perubahan tanpa merubah paradigma berfikir kita. Sehingga strategi pengembangan yang sebelumnya mengedepankan paradigma antroposentris kapitalistik, diubah menjadi paradigma yang ekoposentris sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat adat. (Humas ITN Malang)

Pewarta: Galank Vijanarki/mahasiswa Teknik Lingkungan S-1, angkatan 2019. Editor: Mita/humas.

    1 Comment

Copyright - PERKUMPULAN PENGELOLA PENDIDIKAN UMUM DAN TEKNOLOGI NASIONAL - ITN MALANG - Powered by - PUSTIK 2023